Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Nikah Mut'ah, Dulu dan Sekarang

Pada bab ini kami membahas haramnya nikah mutah. Bukan karena termasuk hal yang hukumnya rumit atau jarang diketahui, melainkan hukumnya sudah masyhur dan bisa dijumpai di kitab-kitab fiqih sekalipun kitab kecil.
Hukum Nikah Mut'ah, Dulu dan Sekarang
Kami membahasnya kembali agar menolak buku dan majalah yang memuat pandangan batil yang dipaparkan oleh sebagian orang-orang bodoh. Mereka menyatakan dilegalkannya nikah mutah agar tidak kembali pada prostitusi resmi yang dituntut oleh sebagian pembuat kerusakan. Pandangan rusak ini telah melanggar ijma' ulama, menjadi propaganda diperbolehkannya perkara haram, melompati pagar hukum agama, ikut pada hukum yang telah di hapus, dan memperkuat pendapat syad yang sudah ditarik oleh sahabat, yang tidak dibuat pegangan dan tidak diperhatikan.

Tidak meragukan lagi bahwa ilmu tidak bisa diambil kecuali dari ahlinya, tidak bisa dicari kecuali di tempatnya. Seorang laki-laki ketika berbicara pada selain fannya maka sungguh termasuk hal yang mengherankan. 

Mereka orang-orang yang suka berpidato menyangka bahwa fikih hanyalah menukil dan falsafah akal. Mereka lupa bahwa tidak diperbolehkan berfatwa kecuali dengan hal yang telah disepakati ulama atau dengan pendapat yang unggul yang kuat dan dijadikan acuan. Tidak samar lagi bahwa orang yang berzina tahu bahwa zina adalah perkara haram. Kendati demikian dia tidak mau meninggalkannya karena dia diperbudak syahwatnya. Namun dia tetap akan menyesal dan bertaubat. Paling tidak dia merasa bahwa dirinya sangat kurang dari derajat orang-orang taat. Adapun orang yang mempunyai niat menghalalkan perkara haram sebab subhat yang lemah, hukum yang dihapus dan pendapat yang ditolak maka tidak diragukan lagi itu termasuk dosa besar yang sangat mengkhawatirkan dan berbahaya. Karena dia tidak melihat bahwa dirinya telah melakukan perkara haram sehingga dia tidak bersegera taubat. Maka dosa yang paling besar adalah bagi orang yang membuka pintu keburukan dan orang menolong pendapat yang ditolak dan dihapus ... Sesungguhnya ini adalah bidah yang sangat besar, dan bidah-bidah lain yang datang silih berganti.

Sesungguhnya nikah mut'ah adalah nikah sampai jangka waktu tertentu. Berulang kali syariat menasakh, dalam satu waktu mengharamkannya dan di waktu lainnya memperbolehkannya. Namun kemudian, perkara ini di tetapkan keharamannya pada saat perang Khaibar. Ini adalah salah satu masalah yang berulang kali dinaskh syariat, seperti dalam kasus mengharamkan arak, memakan daging Khimar rumahan dan menghadap kiblat.
Tidak diragukan lagi bahwa kita beribadah dengan kaifiyah yang sudah final. Bagi kita sudah ditetapkan keharaman yang bersifat selamanya. Maka, berbeda dengan sebagian sahabat bukan berarti membuat image buruk pada hujjah mereka. Kita tidak harus melakukan pendapatnya karena adanya udzur untuk tidak melakukannya.

Bagaimana tidak, mayoritas sahabat telah menjaga keharaman nikah mut'ah dan meriwayatkannya kepada kami, sampai Umar ra. berkata dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad shahih.

اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لَنَا فِی الْمُتْعَۃِ ثَلَاثًا ثُمَّ حَرَّمَهَا, وَاللهِ لَا أَعْلَمُ أَحَدًا تَمَتَّعَ وَهُوَ مُحْصَنٌ اِلَّا رَجَمْتُهُ بِالْحَجَارَۃِ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Saw. memberi izin kami nikah mut'ah tiga kali, kemudian beliau mengharamkannya. Demi Allah, aku tidak mengetahui satu orang yang melakukan nikah mut’ah- sedangkan dia dalam keadaan muhsan- kecuali aku akan merajamnya dengan batu. 

Hadis yang terwarid bahwa Rasulullah Saw. mencegah nikah mut'ah pada hari pembebasan kota Mekkah dan haji wada' tidak merubah larangan Rasulullah pada saat perang Khaibar, karena tujuan pengulangan larangan yang dilakukan oleh beliau bertujuan menyebarkan larangan tersebut, mengumumkan penyebaran dan agar bisa didengar oleh kalangan yang banyak ...

Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dalam kitab Al-Dzabaih, dari sanad Imam Malik rahimahullah :

نَهَی رَسُوْلُ اللهِ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
Artinya : Rasulullah Saw. mencegah menikahi mut'ah wanita, dan memakan daging Khimar rumahan. 

Hadis di atas juga diriwayatkan Imam Muslim dari jalur Ibnu Uyainah.
Maka jelas, bahwa hukum haramnya nikah mut'ah yang terakhir adalah keharaman yang bersifat selamanya, tidak dibatasi waktu. Sehingga sampai saat ini, tidak ada perselisihan mengenai haramnya nikah mut'ah di antara ulama fikih kontemporer dan para imam kecuali sedikit pendapat sebagian orang Syiah yang tidak mempunyai dalil yang memperbolehkan nikah mut'ah. Dalil samar mereka itu telah dihapuskan, atau lemah, atau ditolak atau ada revisi dari para sahabat.

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, "Generasi pertama dulu memberi kemurahan dengan nikah mut'ah, namun pada hari ini saya tidak mengetahui satu pun yang memperbolehkannya, kecuali sebagian Syiah. Sama sekali tidak ada artinya ucapan yang berlawanan dengan kitab Allah dan hadis Rasulullah Saw."

Iyadh rahimahullah berkata, "Seluruh ulama' telah sepakat atas keharaman nikah mut'ah kecuali orang-orang Syiah. Adapun Ibnu Abbas ra., maka ada riwayat kalau beliau memperbolehkannya akan tetapi sudah beliau tarik kembali pendapatnya."
Ibnu Batthal rahimahullah berkata, "Sesungguhnya nikah mut'ah yang terjadi saat ini maka aku membatalkannya, baik sebelum bersetubuh atau sesudahnya."
Al Khathabi rahimahullah berkata, "Keharaman nikah mut'ah telah disepakati ulama kecuali sebagian Syiah. Tidak sah kaedah mereka yang meruju' pada hal yang diperselisihkan yang disandarkan pada Ali ra., Karena telah shahih dari beliau bahwa nikah mut'ah telah dihapus. Al-Baihaqi menukil dari Ja'far bin Muhammad ra. bahwa ia ditanya mengenai nikah mut'ah, maka ia menjawab, "Nikah mut'ah adalah hakekat zina."

Iyadh rahimahullah berkata, "Dan ulama berselisih apakah orang yang menikah mut'ah dihad atau dita'zir? Jawabannya ada dua pendapat."

Al-Qurtubi rahimahullah berkata :

الرِّوَايَاتُ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَی اَنَّ زَمَنَ اِبَاحَةِ الْمُتْعَةِ لَمْ يَطُلْ ثُمَّ أَجْمَعَ السَّلَفُ وَالْخَلَفُ عَلَی مَنْعِهَا وَ تَحْرِيْمِهَا اِلَّا مَنْ لاَ يُلْتَفَتُ اِلَيْهِ مِنَ الرَّوَافِضِ
Artinya : Semua riwayat telah menunjukkan bahwa masa diperbolehkannya nikah mut'ah tidak lama, kemudian ulama salaf dan khalaf sepakat melarang dan mengharamkannya kecuali sebagian orang Syiah yang tidak harus ditoleh pendapatnya. 

Al Syaukani rahimahullah berkata, "Dan golongan ulama telah meriwayatkan adanya penarikan pendapat dari Ibnu Abbas ra. Diantara mereka adalah Muhammad bin Khalaf, seorang qadhi yang terkenal dengan sebutan Waqi' dalam kitabnya "Al-Ghurar Min al-Akhbar" dengan sanad mutashil dengan Sa'id bin Jubair, ia berkata, "Aku berkata kepada Ibnu Abbas, "Apa yang engkau katakan mengenai nikah mut'ah? Orang-orang telah membahasnya, sampai seorang penyair ikut berkata." Beliau berkata, "Apa yang dikatakan penyair." Sa'id berkata, " Penyair berkata :

قَدْ قُلْتُ لِلشَّيْخِ لَمَّا طَالَ مَحْبَسُهُ * يَا صَاحِ هَلْ لَكَ فَتْوَى ابْنِ عَبَّاسِ
وَهَلْ تَرَى رُخْصَةَ الْأَطْرَافِ اَنِسَةً * تَكُوْنُ مَثْوَاكَ حَتَّى مَصْدَرِ النَّاسِ
Saya berkata kepada seorang syekh ketika telah lama menahan diri dari istrinya. Sahabatku, kamu bisa mengamalkan fatwa Ibnu Abbas?
Apakah kamu mau menikahi seorang wanita. Kamu bisa bersenang-senang dengannya hingga kamu pulang ke kampung halamanmu

Beliau berkata, "Penyair telah mengatakan seperti itu?" Sa'id menjawab, "Iya." Sa'id berkata, "Ibnu Abbas tampak tidak suka atau mencegahnya."

Al Khattab ini meriwayatkan dengan sanadnya, dari Sa'id bin Jubair, ia berkata, "Aku berkata kepada Ibnu Abbas, "Orang-orang telah melakukan fatwamu, dan para penyair berkata mengenai nikah mut'ah."

Ibnu Abbas ra. berkata, "Apa yang dikatakan para penyair?" Lalu Sa'id bin Jubair menuturkan dua bait di atas. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Subhanallah! Demi Allah, aku tidak berfatwa seperti ini."

Al-Baihaqi dan Abu Umamah juga meriwayatkan penarikan pendapat dalam kitab shahihnya. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam kitab Fathul Bari, setelah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. beberapa riwayat penarikan pendapat, dan meriwayatkan hadis Sahl bin Sa'd yang diriwayatkan Ibnu Abdul Bar dengan lafadz :

اِنَّمَا رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لِعِزْبَةٍ كَانَتْ بِالنَّاسِ شَدِيْدَة ًثُمَّ نَهَی عَنْهَا بَعْدَ ذَالِكَ
Artinya : Rasulullah memberi kemurahan tidak lain karena pembujangan sangat banyak. Namun setelah itu, beliau mencegahnya. 

Hadis-hadis ini saling menguatkan antara satu dengan lainnya.

Dari Sabrah al-Juhani ra. bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw. pada tahun penaklukan Mekkah. Dia berkata : Kami bermukim di sana selama 15 hari. Maka Rasulullah Saw. mengizini kami menikahi mut'ah para perempuan ...
Dia menyebut hadis sampai berkata, "Maka aku tidak keluar, sampai Rasulullah Saw. mengharamkannya."

Disebutkan dalam satu riwayat bahwa, Sabrah bersama Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda :

يَا اَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكِنْ فِی الْاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَاِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَالِكَ اِلَی يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا اَتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا 
Artinya : Wahai manusia, sungguh aku pernah membolehkan kalian untuk melakukan mut’ah pada wanita-wanita ini, ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari Kiamat. Barangsiapa yang pada dirinya ada sesuatu dari mereka (wanita-wanita yang di Mut’ah) maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kalian mengambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berkan kepadanya. HR. Ahmad dan Muslim

Disebutkan dalam Al-Musawa Syarh al-Muwattha, dan Syarh al-Sunnah : ulama sepakat atas haramnya nikah mut'ah. Hal ini seperti menjadi ijma ulama. Nikah mut'ah hanya boleh pada masa permulaan Islam.

Diterjemahkan dari Adabul Islam fi Nidzamil Usrah (30)
Karangan Abuya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki

Post a Comment for "Hukum Nikah Mut'ah, Dulu dan Sekarang"