Penjelasan Tentang Qunut Nazilah
Qunut disunahkan dalam shalat subuh, shalat witir hari ke lima belas ke atas pada bulan Ramadan dan saat saudara muslim mendapat bencana baik menimpa personal maupun kelompok, baik disebabkan oleh musuh-musuh Islam atau bencana murni dari alam. Qunut yang terakhir inib disebut quzut nazilah. Nazilah berarti bencana yang turun.
Terdapat beberapa nash yang menerangkan disyariatkannya qunut nazilah:
Dari Anas bin Malik ra:
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah Saw qunut selama satu bulan melaknat Ri’lan, Dzakwan dan ‘Ushayyah yang telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hr. Mutafaq ‘Alaih
Abu Hurairah ra berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw setelah membaca ‘sami’a Allah liman haamidah’ pada rakaat terakhir shalat Isya, beliau berqunut:
Artinya: Ya Allah, selamatkanlah ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Al Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang lemah dari kalangan orang-orang beriman. Ya Allah, keraskanlah siksaan-Mu kepada (suku) Mudhar. Ya Allah timpakanlah kepada mereka kekeringan sebagaimana kekeringan yang menimpa (kaum) Nabi Yusuf. Hr. Al-Bukhari
Pada hadis di atas, Nabi melakukan qunut nazilah, mendoakan agar Allah menyelamatkan ‘Ayyasy bin Abu Rabi’ah, Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam dan orang-orang lemah yang ditahan orang-orang kafir sehingga tidak bisa hijrah, mereka disiksa dan disakiti. Nabi berdoa agar orang-orang kafir mendapat siksa, mengalami paceklik dan kekurangan pangan sebagaimana yang pernah dialami kaum Yusuf as.
Qunut nazilah dibaca -keras- setelah ruku’ pada rakaat terakhir setiap shalat. Dilakukannya saat i’tidal-tidak saat sujud padahal sujud menjadi tempat paling ijabah dan adanya perintah berdoa pada saat sujud- mempunyai hikmah agar makmum dan imam berdoa bersama meskipun dengan membaca amin. Qunut ini boleh dilakukan saat shalat maktubah bahkan shalat Jumat, meskipun dikhawatirkan membuat makmum bingung atau jamaah sedikit ‘kacau’. Ketidaktahuan makmum tidak menjadi udzur untuk meninggalkannya bahkan menjadi ilmu baru bagi mereka sebagaimana yang dikatakan Imam Samhudi. Hanya saja, bila makmum terlanjur turun untuk sujud maka tidak wajib kembali berdiri untuk mutaba’ah (mengikuti) imam, karena dia hanya meninggalkan sunah yang tidak fahisy berat.
Tidak ada doa khusus yang terwarid dari nabi untuk qunut nazilah, tidak juga dari ulama salaf maupun khalaf. Doa qunut nazilah sebaiknya sesuai dengan kondisi yang mencukupi maksud dan tujuan seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh ulama fikih madzhab syafii. Ada yang mengatakan bahwa ulama tidak menjelaskan lafadz qunut nazilah menunjukan lafaznya seperti qunut subuh, sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyifah al-Saja Syarah Safinah al-Naja. Meski demikian, pengarang meneruskan ucapannya tersebut dengan mencantumkan pendapat Ibnu Hajar -yang dianggap hasan oleh Imam Bajuri- yang sama dengan pendapat pertama. Pendapat ini diperkuat dengan beda-bedanya redaksi doa yang dibaca Baginda Nabi Saw; beliau qunut untuk kabilah Bani Sulaim-yang para ahli Alquran dari mereka dibunuh-dengan doa yang sesuai dengan tujuan, kemudian ketika qunut untuk para sahabat yang lemah dengan doa yang berbeda.
Dalam qunut nazilah hendaknya imam meringkas doa, tidak terlalu memanjangkan atau memisah dengan doa yang tidak sesuai dengan bencana. Ringkasnya doa lebih bisa diterima hati tidak membuat masyaqat sebagian makmum. Bila qunut dilakukan sebab kekejaman musuh Islam terhadap umat Islam maka imam bisa membaca doa sebagaimana yang dicontohkan nabi di atas, atau menggunakan redaksi lain yang isinya tentang permohonan agar saudara kita diberi keselamatan dan kemenangan. Bila qunut karena adanya bencana maka imam bisa membaca doa-doa dari nabi atau ulama yang berisi agar bencana atau wabah tersebut diangkat atau dihilangkan.
Kamudian, mengenai qunut karena adanya thaun terdapat perbedaan pendapat; ada yang mengatakan disyariatkan qunut dan ini yang mu’tamad; ada yang mengatakan tidak perlu karena umat islam yang terserang thaun termasuk mati syahid. Menurut ulama pertama, adanya syahid tidak mencegah qunut sebagaimana serangan yang dilakukan orang-orang kafir pada muslimin. Qunut tetap disyariatkan meskipun orang yang meninggal termasuk syahid. Keduanya tetap dianggap bencana yang besar yang mengakibatkan ulama dan shalihin meninggal.
Qunut nazilah tidak lagi disunahkan saat sebab yang dimaksudkan hilang. Sedangkan hadis mengenai nabi qunut selama satu bulan bukanlah batasan, karena nabi meninggalkan qunut tersebut ketika sebabnya hilang dengan datangnya orang-orang yang diqunuti (didoakan) sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Referensi: Al-majmu’[3]: 464. Ghayah al-Talkhis[1]: 13. Kasyifah al-saja fi syarh safinah al-naja[1]:195. Minhah al-allam[1]:102. Al-fatawi al-fiqhiyah al-kubra[1]:144
Terdapat beberapa nash yang menerangkan disyariatkannya qunut nazilah:
Dari Anas bin Malik ra:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَ ذَكْوَانَ وَ عُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَ رَسُولَهُ
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah Saw qunut selama satu bulan melaknat Ri’lan, Dzakwan dan ‘Ushayyah yang telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hr. Mutafaq ‘Alaih
Abu Hurairah ra berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw setelah membaca ‘sami’a Allah liman haamidah’ pada rakaat terakhir shalat Isya, beliau berqunut:
اَللّٰهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اَللّٰهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اَللّٰهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اَللّٰهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اَللّٰهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اَللّٰهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
Artinya: Ya Allah, selamatkanlah ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Al Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang lemah dari kalangan orang-orang beriman. Ya Allah, keraskanlah siksaan-Mu kepada (suku) Mudhar. Ya Allah timpakanlah kepada mereka kekeringan sebagaimana kekeringan yang menimpa (kaum) Nabi Yusuf. Hr. Al-Bukhari
Pada hadis di atas, Nabi melakukan qunut nazilah, mendoakan agar Allah menyelamatkan ‘Ayyasy bin Abu Rabi’ah, Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam dan orang-orang lemah yang ditahan orang-orang kafir sehingga tidak bisa hijrah, mereka disiksa dan disakiti. Nabi berdoa agar orang-orang kafir mendapat siksa, mengalami paceklik dan kekurangan pangan sebagaimana yang pernah dialami kaum Yusuf as.
Qunut nazilah dibaca -keras- setelah ruku’ pada rakaat terakhir setiap shalat. Dilakukannya saat i’tidal-tidak saat sujud padahal sujud menjadi tempat paling ijabah dan adanya perintah berdoa pada saat sujud- mempunyai hikmah agar makmum dan imam berdoa bersama meskipun dengan membaca amin. Qunut ini boleh dilakukan saat shalat maktubah bahkan shalat Jumat, meskipun dikhawatirkan membuat makmum bingung atau jamaah sedikit ‘kacau’. Ketidaktahuan makmum tidak menjadi udzur untuk meninggalkannya bahkan menjadi ilmu baru bagi mereka sebagaimana yang dikatakan Imam Samhudi. Hanya saja, bila makmum terlanjur turun untuk sujud maka tidak wajib kembali berdiri untuk mutaba’ah (mengikuti) imam, karena dia hanya meninggalkan sunah yang tidak fahisy berat.
Tidak ada doa khusus yang terwarid dari nabi untuk qunut nazilah, tidak juga dari ulama salaf maupun khalaf. Doa qunut nazilah sebaiknya sesuai dengan kondisi yang mencukupi maksud dan tujuan seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh ulama fikih madzhab syafii. Ada yang mengatakan bahwa ulama tidak menjelaskan lafadz qunut nazilah menunjukan lafaznya seperti qunut subuh, sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyifah al-Saja Syarah Safinah al-Naja. Meski demikian, pengarang meneruskan ucapannya tersebut dengan mencantumkan pendapat Ibnu Hajar -yang dianggap hasan oleh Imam Bajuri- yang sama dengan pendapat pertama. Pendapat ini diperkuat dengan beda-bedanya redaksi doa yang dibaca Baginda Nabi Saw; beliau qunut untuk kabilah Bani Sulaim-yang para ahli Alquran dari mereka dibunuh-dengan doa yang sesuai dengan tujuan, kemudian ketika qunut untuk para sahabat yang lemah dengan doa yang berbeda.
Dalam qunut nazilah hendaknya imam meringkas doa, tidak terlalu memanjangkan atau memisah dengan doa yang tidak sesuai dengan bencana. Ringkasnya doa lebih bisa diterima hati tidak membuat masyaqat sebagian makmum. Bila qunut dilakukan sebab kekejaman musuh Islam terhadap umat Islam maka imam bisa membaca doa sebagaimana yang dicontohkan nabi di atas, atau menggunakan redaksi lain yang isinya tentang permohonan agar saudara kita diberi keselamatan dan kemenangan. Bila qunut karena adanya bencana maka imam bisa membaca doa-doa dari nabi atau ulama yang berisi agar bencana atau wabah tersebut diangkat atau dihilangkan.
Kamudian, mengenai qunut karena adanya thaun terdapat perbedaan pendapat; ada yang mengatakan disyariatkan qunut dan ini yang mu’tamad; ada yang mengatakan tidak perlu karena umat islam yang terserang thaun termasuk mati syahid. Menurut ulama pertama, adanya syahid tidak mencegah qunut sebagaimana serangan yang dilakukan orang-orang kafir pada muslimin. Qunut tetap disyariatkan meskipun orang yang meninggal termasuk syahid. Keduanya tetap dianggap bencana yang besar yang mengakibatkan ulama dan shalihin meninggal.
Qunut nazilah tidak lagi disunahkan saat sebab yang dimaksudkan hilang. Sedangkan hadis mengenai nabi qunut selama satu bulan bukanlah batasan, karena nabi meninggalkan qunut tersebut ketika sebabnya hilang dengan datangnya orang-orang yang diqunuti (didoakan) sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Referensi: Al-majmu’[3]: 464. Ghayah al-Talkhis[1]: 13. Kasyifah al-saja fi syarh safinah al-naja[1]:195. Minhah al-allam[1]:102. Al-fatawi al-fiqhiyah al-kubra[1]:144
Post a Comment for "Penjelasan Tentang Qunut Nazilah"
Silahkan berikan komentar dengan baik dan sopan