Hukum Menimbun Barang yang Sedang Dibutuhkan Masyarakat
Termasuk cara manusia berikhtiyar mengais rizki adalah dengan cara berniaga. Allah Swt telah melegalkan keutungan yang didapat dari perdagangan. Bahkan, manusia yang paling dicintai-Nya pernah menekuni profesi ini. Allah Swt berfirman:
Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah: 275)
Maksud ayat di atas, Allah menghalalkan keuntungan yang dihasilkan dari berdagang dan mengharamkan keuntungan atau tambahan dari riba.
Bahkan, beberapa hadis menunjukkan adanya ‘anjuran’ untuk berdagang. Sebagian ulama juga menyebutkannya sebagai profesi paling baik. Nabi Saw bersabda:
Artinya: Sembilan dari sepuluh (jalan) rizki ada dalam berdagang.
Adanya keuntungan menjadi hal yang lazim dalam jual beli. Namun, untung atau rugi pun tidak menjadi syarat dalam jual beli. Artinya, pedagang boleh menjual dengan harga yang lebih mahal dari modal atau lebih murah. Dalam catatan kajian fikih, yang menjadi syarat adalah adanya sighat (ijab dan qabul) yang merupakan simbol adanya ridha.
Tidak ada batasan dalam mengambil keuntungan dalam jual beli. Seseorang bisa mengambil keuntungan berapapun-selama tidak ada unsur penipuan. Namun, Islam selalu mendakwahkan sifat kasih sayang, memudahkan dan memperbaiki sosial. Keuntungan seutuhnya diserahkan kepada penjual, bagaimana ia menjalankan ajaran murah, adil dan mementingkan kemaslahatan umat.
Selain gharar (penipuan) yang diharamkan dalam jual beli adalah ihtikar (menimbun), yakni menimbun makanan pokok saat harga tinggi dan menjualnya dengan tujuan memperoleh keuntungan yang lebih besar di mana saat itu masyarakat sedang membutuhkan. Ihtikar termasuk jual beli yang diharamkan meskipun secara akad dihukumi sah. Terdapat beberapa praktek jual beli yang sah namun diharamkan. Ada juga yang sah dan halal namun tidak berkah. Pedagang yang baik selalu berusaha melakukan akad jual beli yang sah, tidak haram dan berkah.
Keharaman ihtikar disebabkan adanya unsur mempersulit orang yang sedang membutuhkan. Segala praktek yang terdapat unsur menyusahkan hukumnya haram.
Artinya: Barang siapa yang menimbun makanan atas orang-orang Islam maka Allah akan menghukumnya dengann kusta dan bangkrut. Hr. Ibnu Majah
Menimbun yang diharamkan adalah secara khusus menimbun barang-barang kebutuhan pokok dan saat masyarakat sedang membutuhkan. Oleh karena itu bila membeli barang dan banyak stok untuk disimpan supaya bisa dijual waktu orang-orang butuh, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak pedagang atau para perajin saat membuat sebagian makanan dan menyimpannya agar tidak rusak supaya bisa dimanfaatkan ketika tidak stok mulai jarang maka tidak termasuk ihtikar. Atau membeli diwaktu mahal untuk kebutuhannya, atau membeli untuk dijual pada waktu itu, maka hal itu tidak termasuk menimbun dan tidak dihukumi haram.
Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi menyebutkan para ashab syafii sepakat ihtikar haram berlaku pada makanan. Namun, beliau juga menyamakannya dengan segala sesuatu yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian manusia seperti menimbun pakaian pada musim dingin sementara masyarakat sedang membutuhkan.
Hikmah diharamkannya ihtikar untuk menolak madharat dari kehidupan masyarakat. Karenanya, bila pedagang memiliki makanan dan orang-orang sangat membutuhkannya serta tidak menemukan selainnya, maka orang tersebut dipaksa menjualnya. Apabila tidak mau maka hakim yang menjualnya dan mengganti harganya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menolak kesulitan masyarakat.
Referesnsi: Asna al-Mathalib[2]: 37. Al-Hawi al-Kabir[5]:906. Al-Fiqh al-Manhaji[6]: 36. Al-Majmu’ [13: 44
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah: 275)
Maksud ayat di atas, Allah menghalalkan keuntungan yang dihasilkan dari berdagang dan mengharamkan keuntungan atau tambahan dari riba.
Bahkan, beberapa hadis menunjukkan adanya ‘anjuran’ untuk berdagang. Sebagian ulama juga menyebutkannya sebagai profesi paling baik. Nabi Saw bersabda:
تِسَعَةُ أَعْشَارِ الرِّزْقِ فِى التِّجَارَةِ
Artinya: Sembilan dari sepuluh (jalan) rizki ada dalam berdagang.
Adanya keuntungan menjadi hal yang lazim dalam jual beli. Namun, untung atau rugi pun tidak menjadi syarat dalam jual beli. Artinya, pedagang boleh menjual dengan harga yang lebih mahal dari modal atau lebih murah. Dalam catatan kajian fikih, yang menjadi syarat adalah adanya sighat (ijab dan qabul) yang merupakan simbol adanya ridha.
Tidak ada batasan dalam mengambil keuntungan dalam jual beli. Seseorang bisa mengambil keuntungan berapapun-selama tidak ada unsur penipuan. Namun, Islam selalu mendakwahkan sifat kasih sayang, memudahkan dan memperbaiki sosial. Keuntungan seutuhnya diserahkan kepada penjual, bagaimana ia menjalankan ajaran murah, adil dan mementingkan kemaslahatan umat.
Selain gharar (penipuan) yang diharamkan dalam jual beli adalah ihtikar (menimbun), yakni menimbun makanan pokok saat harga tinggi dan menjualnya dengan tujuan memperoleh keuntungan yang lebih besar di mana saat itu masyarakat sedang membutuhkan. Ihtikar termasuk jual beli yang diharamkan meskipun secara akad dihukumi sah. Terdapat beberapa praktek jual beli yang sah namun diharamkan. Ada juga yang sah dan halal namun tidak berkah. Pedagang yang baik selalu berusaha melakukan akad jual beli yang sah, tidak haram dan berkah.
Keharaman ihtikar disebabkan adanya unsur mempersulit orang yang sedang membutuhkan. Segala praktek yang terdapat unsur menyusahkan hukumnya haram.
مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللهُ بِالْجُذَّامِ وَ الْاِفْلَاسِ
Artinya: Barang siapa yang menimbun makanan atas orang-orang Islam maka Allah akan menghukumnya dengann kusta dan bangkrut. Hr. Ibnu Majah
Menimbun yang diharamkan adalah secara khusus menimbun barang-barang kebutuhan pokok dan saat masyarakat sedang membutuhkan. Oleh karena itu bila membeli barang dan banyak stok untuk disimpan supaya bisa dijual waktu orang-orang butuh, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak pedagang atau para perajin saat membuat sebagian makanan dan menyimpannya agar tidak rusak supaya bisa dimanfaatkan ketika tidak stok mulai jarang maka tidak termasuk ihtikar. Atau membeli diwaktu mahal untuk kebutuhannya, atau membeli untuk dijual pada waktu itu, maka hal itu tidak termasuk menimbun dan tidak dihukumi haram.
Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi menyebutkan para ashab syafii sepakat ihtikar haram berlaku pada makanan. Namun, beliau juga menyamakannya dengan segala sesuatu yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian manusia seperti menimbun pakaian pada musim dingin sementara masyarakat sedang membutuhkan.
Hikmah diharamkannya ihtikar untuk menolak madharat dari kehidupan masyarakat. Karenanya, bila pedagang memiliki makanan dan orang-orang sangat membutuhkannya serta tidak menemukan selainnya, maka orang tersebut dipaksa menjualnya. Apabila tidak mau maka hakim yang menjualnya dan mengganti harganya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menolak kesulitan masyarakat.
Referesnsi: Asna al-Mathalib[2]: 37. Al-Hawi al-Kabir[5]:906. Al-Fiqh al-Manhaji[6]: 36. Al-Majmu’ [13: 44
Post a Comment for "Hukum Menimbun Barang yang Sedang Dibutuhkan Masyarakat"
Silahkan berikan komentar dengan baik dan sopan