Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

4 Masalah Da'i Indonesia - Hukum Fikih

Siapapun dan di manapun, sebagai makhluk yang di beri keistimewaan berupa akal, tentu manusia ingin memberi kemanfaatan kepada orang lain. Dengan dasar bahwa suatu kebanggaan dalam hati bisa menuntun saudara pada jalan kebenaran. Manusia yang diberi beban syariat akan berusaha mengajak saudaranya berada pada jalan kebenaran.
Dengan embel-embel sabda nabi, siapa yang menunjukkan kebaikan niscaya mendapat pahala orang yang ditunjukkan tanpa menguranginya. Sehingga dewasa ini, banyak sekali yang berambisi menjadi da'i yang tugasnya menyampaikan perihal agama. Seakan mereka bersaing untuk mendapat jamaah sebanyak-banyaknya yang menjadi lahan untuk menanam kebaikan. Namun dalam beberapa kasus ada beberapa da'i yang tidak menghiraukan undang-undang dakwah sehingga menjadi sorotan fiqih.

Pasang Tarif Da'i 

Permasalah pemasangan tarif dari seorang da'i sempat ramai di media sosial. Berbagai pandangan negatif muncul dari sana. Bagaimana seorang yang berjuang di jalan Allah mempermasalahkan honor dari perjuangannya. Padahal sering kali ia menyinggung bahwa ancaman besar bagi orang yang menjual agama dengan dunia.
Seorang da'i dianalogikan dengan guru dalam hal sama-sama mengajarkan agama kepada masyarakat. Lebih jauh mereka seperti seorang muadzin dan seorang imam. Ulama berbeda pendapat  dalam diperbolehkannya mengambil upah darinya pekerjaan di atas. Memang fiqih memperbolehkan seorang pengajar menerima gaji dari mengajarnya. Akan tetapi, sebagai seorang yang mengerti agama sangat tidak pantas menjadikannya sebagai tujuan. Dalam fiqih, diperbolehkan melakukan akad isti'jaroh terhadap ibadah yang tidak butuh niat, seperti adzan, merawat mayit, dan mengajar Al Qur'an dengan menta'yin orang yang mengajar dan kadar ilmu yang diajarkan. namun sangat tidak baik bila seorang da'i memasang tarif.  Akan ada banyak gunjingan jelek yang mengarah kepadanya sebagaimana di atas. Dan masih banyak lagi efek negatif yang akan timbul dari hal itu.

Da'i Gemar Melucu

Zaman sekarang masyarakat lebih memilih da'i yang gemar melucu dari pada da'i yang selalu serius. Ini menjadi alasan seorang da'i berusaha menyisipkan guyonan dalam ceramahnya. Dalam pandangannya, masyarakat akan lebih antusias mengikuti pengajian bila ceramahnya banyak disisipkan humoran-humoran. 
Menyisipkan guyonan dalam ceramah diperbolehkan. Hanya saja tidak sampai melewati batas kewajaran. Tidak sampai membawa pendengar terlena dalam suasana tertawa terbahak-bahak yang tidak sesuai dengan nash al Qur'an dan Sunah. Humoran-humoran itu hanya akan membuat mereka lalai dari mengingat dan tafakkur kepada Allah. Bisa juga menjadikan hati semakin keras, dan hilangnya haibah penceramah. Guyonan yang diperbolehkan hanyalah sebatas menenangkan pendengar. Bahkan dianggap baik bila untuk membuat nyaman hadirin yang ikut mengaji. Lihat : Shohih Ibnu Hiban[13]:106. Al Bajuri [2]:71. 

Menyampaikan Cerita Isra'iliyah dan Hadits Palsu

Banyak sekali cerita-cerita Isra'iliyyat yang terdapat dalam kitab ulama salaf. Terutama pada kitab tafsir.  Dalam menyikapi cerita-cerita yang terjadi atau diceritakan oleh kaum yahudi-nasrani dan kaum-kaum terdahulu, terlebih dahulu harus memilahnya. Jika cerita Isra'iliyyah itu bertentangan dengan nash Al Qur'an dan Hadits, maka tidak diperbolehkan menceritakannya. Sebaliknya bila tidak bertentangan, maka boleh menceritakannya.  Dan yang tidak diketahui, maka kita hanya diam. Tidak membenarkan atau mendustakan. 
Sama halnya dengan hadits palsu. Banyak sekali beredar di antara hadits yang dibuat-buat semata untuk kepentingan sendiri. Menceritakan hadits seperti ini, sama sekali tidak dibenarkan. Karena termasuk menyebar kebohongan paling besar, yakni kebohongan yang disandarkan pada nabi. Seorang penceramah harus berhati-hati dalam menyampaikan hadits. Ada beberapa kitab yang mengumpulkan hadits-hadits palsu. Seperti kitab al Abathil, karangan Imam Husain al Juzqhoni, dan al Maudlu’aat, karangan Imam al Hafidz Abul Farj ibnu Jauzi.
Haram bagi orang yang meriwayatkan hadits palsu jika ia tahu status palsunya atau mempunyai prasangka kuat. Dan dalam meriwayatkannya dia tidak menjelaskan kepalsuannya. Ada beberapa cara dalam meriwayatkan hadits ; apabila shohih atau hasan maka dengan cara berucap,"Rasulullah  Saw. berkata , berbuat, " yakni dengan menggunakan kalimat yang menguatkan. Apabila dlo’if maka dengan cara berucap,”Diriwayatkan dari Rasulullah Saw. atau diceritakan dari Rasulullah Saw.” Lihat :  Syarh an Nawawi 'ala Muslim[1]:71. Tafsir Ibnu Katsir[1]:31. Asanid at Tafsir[1]:50.

Dakwah melalui musik

Dewasa ini sudah menjadi trend di Indonesia setiap bulan Ramadlan setiap musisi mengeluarkan single religi. Ramadlan menjadi moment baik sebagai aspirasi keluarnya lagu religi mereka. Dari musik pop, rap, dangdut, bahkan musik reggae banyak kita jumpai yang berbau religi. Sebagian lagi ada musisi yang spesialis lagu religi. Lagu-lagunya indah dan banyak yang bersumber dari hadits atau Kalam ulama. Hal demikian tidak lain karena ada niatan berdakwah dalam jiwa musisinya. Bahkan ada anggapan dakwah seperti itu lebih meresap dalam hati. 
Terlepas dari anggapan atau tujuan-tujuan lain. Fiqih memandang berdakwah menyisipkan al Qur’an atau hadits dalam  musik tidak dibenarkan. Alat musik berupa gitar dan lainnya merupakan alat yang diharamkan oleh agama. Dengan memasukkan antara sebuah ayat atau hadits dan sebuah musik akan muncul sebuah sifat meremehkan hadits tersebut. Lihat : Madzaibul Arbaah[3]:128. Fatawi Arromliy:387.

Post a Comment for "4 Masalah Da'i Indonesia - Hukum Fikih"