Hukum Makan di Warung Non Muslim
Indonesia merupakan surga kuliner yang setiap daerahnya mempunyai banyak makanan khas yang menggugah selera. Di sepanjang jalannya, dengan mudah dijumpai rumah makan atau warung berjejer dengan menu berbeda-beda. Warung-warung tersebut bisa jadi dikhususkan untuk umat Islam dengan menu dan cara penyembelihan yang halal karena pemiliknya seorang muslim tulen. Ada juga warung yang pemiliknya non muslim dan mendirikan warung makan khusus non muslim. Bahkan ada pemiliknya non muslim namun berani menyatakan bahwa warungnya seratus persen halal atau sekadar meyakinkan pelanggannya mana kategori masakan yang halal dan haram. Bagaimana pandangan fikih terkait seorang muslim yang datang ke rumah makan non muslim yang berpotensi masakannya tidak halal baginya atau perabot-perabot masaknya tidak suci atau bahkan bekas memasak babi?
Masakan non muslim pada dasarnya boleh dikonsumsi oleh umat islam selama tidak ada hal yang menyebabkan haram baginya. Di antara penyebab haram adalah masakan yang diolah berupa babi, masaknya bercampur dengannya, menggunakan minyak babi atau wadahnya juga dipakai untuk babi. Di antaranya lagi menunya berupa ayam, kambing atau sapi yang disembelih non muslim yang bukan dalam kategori kafir kitabi dari golongan yahudi dan nasrani, karena syarat sah sembelihan adalah muslim dan kafir kitabi. Segala perabot atau minyak yang digunakan untuk memasak dua kategori di atas bisa dihukumi najis dan haram bagi seorang muslim memakannya bila dia benar-benar melihatnya. Namun bila tidak didapati secara jelas maka sebaiknya lebih berhati-hati, meskipun hukum asalnya wadah-wadah yang dipakai secara dzahir dihukumi suci. Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan:
(قَاعِدَةٌ مُهِمَّةٌ) وَهِيَ أَنَّ مَا أَصْلُهُ الطَّهَارَةُ وَغلَبَ عَلَى الظَّنَّ تَنَجُّسَهُ لِغَلَبَةِ النَّجاسَةِ فِي مِثْلِهِ فِيْهِ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَيْ الْأصْلِ وَالظَّاهِرِ أَوِ الْغَالِبِ أرْجَحُهُمَا أَنَّهُ طَاهِرٌ عَمَلاً بِالْأصْلِ الْمُتَيَقَّنِ لِأَنَّهُ أَضْبَطُ مِنَ الْغَالِبِ الْمُخْتَلِفِ بِالْأَحْوَالِ وَالْأَزْمَانِ، وَذَالِكَ كَثِيَابِ خَمَّارٍ وَحَائِضٍ وَصِبْيَانٍ، وَأَوَانِي مُتَدَيِّنِيْنَ بِالنَّجَاسَةِ، وَوَرَقٍ يَغْلِبُ نَثْرُهُ عَلَى نَجَسٍ، وَلُعَابِ صَبِيّ، وَجُوْخٍ اشْتُهِرَ عَمَلُه بشَحُمِ الْخِنْزِيْرِ، وَجُبْنٍ شَامِيٍّ اُشْتُهِرَ عَمَلُهُ بإنْفَحَّةِ الْخِنْزِيْرِ. وَقَدْ جَاءَهُ جُبْنَةٌ مِنْ عِنْدِهِمْ فَأكَلَ مِنْهَا وَلَمْ يَسْأَلْ عَنْ ذَالِكَ. ذَكَرَهُ شَيْخُنَا فِي شَرْحِ الْمِنْهَاجِ
(Kaidah penting) Setiap benda yang asalnya suci dan terdapat prasangka kuat akan kemungkinan najis karena umumnya benda semacam itu najis, maka terdapat dua pendapat yang terkenal dengan hukum asal dan dzahir atau ghalib(umum) dengan dasar mengamalkan hukum asal yang diyakini, karena hukum ini lebih terjaga dari hukum ghalib yang bisa berubah sesuai kondisi dan waktunya, seperti pakaian pembuat arak, wanita haid atau anak-anak, dan perabot atau bejana milik non muslim yang bergelut dengan najis, daun yang umumnya rontok di tempat najis, air liur anak kecil, sebuah gula batu yang terkenal pembuatannya dengan minyak babi, dan keju Syam yang terkenal pembuatannya dengan isi perut babi. Rasulullah pernah disuguhi keju dari penduduk Syam, lalu beliau memakan sebagiannya tanpa bertanya tentang keju tersebut. Kaidah ini juga disebutkan oleh guru kita dalam Syarah al Minhaj.
Juga disebutkan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzab: “Dimakruhkan menggunakan alat-alat masak orang-orang musyrik dan pakaian karena dua alasan : pertama bersandar pada hadits yang diriwayatkan Abu Tsa’labah RA, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di tanah ahli kitab dan makan memakai alat-alat mereka.” Maka Rasul menjawab: “Janganlah kamu makan di wadah mereka kecuali kamu tidak menemukan wadah sama sekali, maka basuhlah dengan air kemudian makanlah menggunakannya” dan alasan kedua karena mereka tidak bisa terhindar dari najis.
Imam As-Syaukani berkata: Masalah membasuh wadah pada hadits riwayat Abu Tsa’labah di atas bukan semata karena wadahnya terkotori oleh kotoran basah ahli kitab, melainkan karena mereka memasak babi memakainya dan meminum arak dengannya.
Dijelaskan dalam Syarah al-Bahjah al-Wardiyah: hadits di atas diinterpresikan akan hukum sunah atau pertanyaan tersebut terkait wadah-wadah yang digunakan memasak babi dan meminum arak sebagaimana hadits riwayat abu dawud:
إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبَخُوْنَ فِي قُدُوْرِهِمْ الْخِنْزِيْرَ وَيَشْرَبُوْنَ فِي آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا غَيْرَهَا فَارْحَضُوْهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا
Artinya: Sesungguhnya kami bertetangga dengan ahli kitab, sedangkan mereka memasak babi di kuali-kulai mereka dan meminum arak di wadah-wadah mereka. Lalu Rasulullah SAW berkata: “Apabila kalian menemukan selain wadah tersebut maka makanlah dan minumlah, dan apabila tidak menemukannya maka basuhlah dengan air dan makanlah dan minumlah.”
Selama status perabot tersebut masih dugaan, maka menggunakan hukum asal-yakni suci- dan boleh memakainya, apalagi pemilik warung telah mengatakan sama sekali tidak menggunakannya untuk babi. Bila pelanggan muslim melihat peralatannya digunakan untuk babi atau melalui ucapan pemilik warung non muslim makan hukumnya haram. Alangkah baiknya meninggalkan perkara yang meragukan menuju perkara yang tidak meragukan. Wa Allahu A’lam.
Post a Comment for "Hukum Makan di Warung Non Muslim"
Silahkan berikan komentar dengan baik dan sopan