Masjid Portabel Dalam Pandangan Fikih Syariat
Masjid menurut bahasa adalah tepat sujud. Sedangkan menurut syara’ adalah setiap perkara yang disediakan untuk shalat lima waktu secara berjamaah. Bangunan ini merupakan tempat ibadah sakral bagi umat Islam. Ia memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh tempat ibadah lainnya, semisal i'tikaf, shalat tahiyatul masjid dan lainnya. Dan Allah Swt telah memerintahkan agar mengagungkannya, menjaga dari kotoran, najis, ingus, anak-anak kecil yang masih biasa kencing sembarangan, dan hal-hal menjijikan lainnya.
Namun, hukum-hukum masjid berlaku apabila diwakafkan. Ulama telah menjelaskan, orang yang membangun masjid, shalat di sana dan tidak mewakafkannya maka bangunan tersebut tidak mendapat hukum masjid sampai diwakafkan.
Namun, beberapa tahun yang lalu hadir inovasi baru yang menarik sejumlah negara, yakni berupa masjid portabel. Masjid berjalan ini menghadirkan fasilitas yang mencukupi untuk melakukan shalat Jumat ( Majalah Langitan : Masjid portabel). Tentunya munculnya masjid ini menarik para aktivis Bahtsul Masail untuk mengupas hukumnya. Karena terkait dengan ibadah, status penemuan baru ini harus diperjelas ; apakah sah atau tidak sah? Apabila tidak sah bagaimanakah solusinya?.
Syarat barang yang diwakafkan menjadi masjid adalah tsabat (tetap). Barang yang manqul (bisa dipindah) tidak boleh diwakafkan kecuali bila ditetapkan dengan paku atau semacamnya. Maka, tikar, pakaian, karpet, sajadah atau jenis manqul lainnya tidak bisa diwakafkan kecuali dengan di jadikan sesuatu yang tsabat dengan cara dipaku atau lainnya. Bila sudah demikian, maka boleh diwakafkan dan status wakafnya tidak akan hilang meskipun pakunya telah dicabut, karena status barang yang telah diwakafkan tidak bisa hilang.
Permasalahan pewakafan sebuah kendaraan menjadi masjid juga dibahas dalam kitab klasik ulama. Semisal dalam kitab Asna al-Mathalib juz 1 halaman 437 :
Guru kami berkata, atas dasar inilah (mewakafkan manqul menjadi masjid), seseorang yang ingin mewakafkan kapal menjadi masjid, bila berada di laut maka tidak sah, atau berada di daratan, maka sah bila ditetapkan, dan tidak sah bila tidak ditetapkan.
Imam Ramli pernah ditanya, seandainya seorang menggelar tikar atau lainnya dan memakunya kemudian mewakafkannya menjadi masjid apakah sah wakafnya?. Beliau menjawab, sekiranya dia mewakafkannya sebagai masjid setelah ditetapkan maka sah.
Referensi : Asna al-Mathalib[1]:437. Nihayatul Muhtaj[18]:106. Fatawi Fiqhiyah Kubra[3]418. Hasyiyah Bujairami[3]:244. I’anah al-Thalibin[2]:293
Namun, hukum-hukum masjid berlaku apabila diwakafkan. Ulama telah menjelaskan, orang yang membangun masjid, shalat di sana dan tidak mewakafkannya maka bangunan tersebut tidak mendapat hukum masjid sampai diwakafkan.
Namun, beberapa tahun yang lalu hadir inovasi baru yang menarik sejumlah negara, yakni berupa masjid portabel. Masjid berjalan ini menghadirkan fasilitas yang mencukupi untuk melakukan shalat Jumat ( Majalah Langitan : Masjid portabel). Tentunya munculnya masjid ini menarik para aktivis Bahtsul Masail untuk mengupas hukumnya. Karena terkait dengan ibadah, status penemuan baru ini harus diperjelas ; apakah sah atau tidak sah? Apabila tidak sah bagaimanakah solusinya?.
Syarat barang yang diwakafkan menjadi masjid adalah tsabat (tetap). Barang yang manqul (bisa dipindah) tidak boleh diwakafkan kecuali bila ditetapkan dengan paku atau semacamnya. Maka, tikar, pakaian, karpet, sajadah atau jenis manqul lainnya tidak bisa diwakafkan kecuali dengan di jadikan sesuatu yang tsabat dengan cara dipaku atau lainnya. Bila sudah demikian, maka boleh diwakafkan dan status wakafnya tidak akan hilang meskipun pakunya telah dicabut, karena status barang yang telah diwakafkan tidak bisa hilang.
Permasalahan pewakafan sebuah kendaraan menjadi masjid juga dibahas dalam kitab klasik ulama. Semisal dalam kitab Asna al-Mathalib juz 1 halaman 437 :
Guru kami berkata, atas dasar inilah (mewakafkan manqul menjadi masjid), seseorang yang ingin mewakafkan kapal menjadi masjid, bila berada di laut maka tidak sah, atau berada di daratan, maka sah bila ditetapkan, dan tidak sah bila tidak ditetapkan.
Imam Ramli pernah ditanya, seandainya seorang menggelar tikar atau lainnya dan memakunya kemudian mewakafkannya menjadi masjid apakah sah wakafnya?. Beliau menjawab, sekiranya dia mewakafkannya sebagai masjid setelah ditetapkan maka sah.
Referensi : Asna al-Mathalib[1]:437. Nihayatul Muhtaj[18]:106. Fatawi Fiqhiyah Kubra[3]418. Hasyiyah Bujairami[3]:244. I’anah al-Thalibin[2]:293
Post a Comment for "Masjid Portabel Dalam Pandangan Fikih Syariat"
Silahkan berikan komentar dengan baik dan sopan