Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makna dan Hikmah Ikhtilaf Adalah Rahmat


Iktilaf sejak dulu memang lazim adanya. Sejak zaman sahabat, kita melihat bagaimana mereka berbeda pendapat.  Ibnu Abbas meriwayatkan Nabi Saw bersabda:

مَهْمَا أُوْتِيْتُمْ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَالْعَمَلُ بِهِ وَاجِبٌ لَا عُذْرَ لِأَحَدٍ فِي تَرْكِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَسُنَّةٌ مِنِّى مَاضِيَةٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةٍ مِنِّى فَمَا قَالَ أَصْحَابِي إِنَّ أَصْحَابِي بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ  بِأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ وَ اخْتِلَافُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ

Artinya : Bagaimana kalian telah diberi kitab suci Alquran, maka  mengamalkannya wajib bagi kalian, tidak alasan untuk meninggalkannya. Apabila tidak ditemukan di Alquran, ambillah sunnahku (hadis) yang telah lewat.  Bila tidak ada didalam sunnahku, ambillah apa yang dikatakan oleh para sahabatku karena mereka bagaikan bintang di langit. Dengan mengambil perkataan dari mereka, kalian akan mendapat petunjuk. Perbedaan pendapat di kalangan sahabatku merupakan rahmat bagi kalian.

Dan terdapat hadis yang masyhur di kalangan ulama:

اِخْتِلَافُ اُمَّتِيْ رَحْمَۃٌ

Artinya: Ikhtilaf umatku adalah rahmat.

Imam Subki menyatakan bahwa hadis kedua ini tidak dikenal di kalangan muhaddisin, melainkan ucapan seseorang, lalu diambil orang lain dan menganggapnya sebagai hadis. Imam Subki tidak menemukan hadis shahih, atau hasan, atau mauquf, bahkan meyakini tidak ada dasarnya.

Namun, disebutkan dalam kitab Al-Maqasid al-Hasanah bahwa hadis tersebut adalah kandungan makna hadis pertama dengan sanad munqathi'. Imam Ghazali juga mempunyai pandangan yang sama, hadis tersebut disebutkan oleh imam Baihaqi dalam kitab Risalahnya dengan mengantungkan dan memberikannya sanad dalam kitab Al-Madkhal dari hadis Ibnu Abbas di atas, sedangkan sanadnya adalah dhaif.

Imam Suyuti berkata 'Nashrul Maqdisi dalam 'Al-Hujjah' meriwayatkan hadis di atas, Imam al-Baihaqi dalam 'Al-Risalah al-Qusyairiyah' meriwayatkannya tanpa sanad. Imam Halimi, Qadhi Husain, dan Imam Haramain dan lainnya juga meriwayatkannya. Barangkali mereka mentakhrij hadis ini dalam sebagian kitab para penghafal hadis yang belum sampai kepada kami.”

Ikhtilaf yang dimaksudkan adalah dalam masalah furu'iyah yang layak diikhtilafkan, dan pelakunya memenuhi syarat mujtahid. Ikhtilaf seperti ini yang terjadi pada era sahabat.

Umar bin Abdul Aziz berkata:

مَا سَرَّنِيْ لَوْ اَنَّ اَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّی اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لِاَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ

Artinya: Tidaklah membuatku senang bila para sahabat Muhammad Saw tidak berbeda pendapat, karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat maka tidak ada kemurahan.

Yahya bin Sa'id berkata: “Ikhtilaf tidak menjadikan orang-orang terdahulu (sahabat) hancur. Karena saat sahabat mengatakan halal terhadap suatu perkara dan yang lain mengatakan haram, maka yang mengatakan haram tidak pernah menganggap rusak orang yang mengatakan halal. Oleh karena ikhtilaf mereka menjadi rahmat dan tausi'ah.”

Imam Malik bin Anas berkata kepada Harun al-Rasyid, "Sesungguhnya ikhtilaf ulama adalah rahmat dari Allah untuk umat ini. Masing-masing mengikuti apa yang menurut mereka benar, semuanya pada jalur petunjuk, dan mengharapkan (ridha) Allah Ta'ala."


Ikhtilaf terbagi menjadi dua; ikhtilaf mahmud (tidak dicela) dan madzmum (dicela). Adapun ikhtilaf madzmum adalah ikhtilaf dalam Ushuluddin-ada yang mengatakan dalam masalah yang sudah ada nashnya atau masalah yang secara  naqli dan aqli hanya mempunyai satu makna-, sedangkan yang diterima adalah dalam masalah hukum furu'iyah. Ikhtilaf ini tidak dicela karena ulama yang benar akan mendapat dua pahala sedangkan yang salah mendapat satu pahala.

Ikhtilaf menjadi rahmat yang luas bukan dari dzatnya, melainkan dari hasil tausi'ah (keleluasan atau memberi ruang)nya. Ikhtilaf menjadi tausi'ah bagi mujtahid dan mukallid; yang berijtihad tidak mendapat dosa bila salah sebab ijtihad atau usahanya; yang taklid bisa mengambil salah satu pendapat ulama yang mereka tanya atau anut.

Dengan adanya esensi bahwa ikhtilaf adalah rahmat, tidak berarti ittifaq menjadi adzab. Tidak selalu pembanding kata rahmat adalah adzab, sebagaimana  Allah menjadikan malam sebagai rahmat agar manusia tenang atau beristirahat, maka bukan berarti siang dijadikan adzab. Yang dimaksud rahmat di sana adalah kebaikan dan belas kasih Allah.

Referensi: Syarh Lum'ah al-I'tiqad[19]: 23. Ihya' Ulumiddin [1]: 55. Al-Bahr al-Madid[5]: 35. Jami' Lathaif al-Tafsir[15]: 319

Post a Comment for "Makna dan Hikmah Ikhtilaf Adalah Rahmat"